Jumat, 26 Juni 2015

LATAR BELAKANG,PENGERTIAN DAN KEGUNAAN PEMAHAMAN INDIVIDU

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Manusia selain sebagai makhluk individu dan sosial mengandung pengertian bahwa manusia merupakan makhluk unik, dan merupakan perpaduan antara aspek individu sebagai perwujudan dirinya sendiri dan makhluk sosial sebagai anggota kelompok atau masyarakat. Manusia sebagai makhluk individu dan sosial akan menampilkan tingkah laku tertentu, akan terjadi peristiwa saling mempengaruhi antara individu yang satu dengan individu yang lain.
Keunikan dari individu mengandung arti bahwa tidak ada dua orang individu yang sama persis di dalam aspek-aspek pribadinya, baik aspek jasmaniah maupun rohaniah. Individu yang satu berbeda dengan individu yang lainnya. Timbulnya perbedaan individu ini dapat kita kembalikan kepada faktor pembawaan dan lingkungan sebagai komponen utama bagi terbentuknya keunikan individu. Perbedaan pembawaan akan memungkinkan perbedaan individu meskipun dengan lingkungan sama. Dan sebaliknya lingkungan yang berbeda akan memungkinkan timbulnya perbedaan individu meskipun pembawaannya sama.
Setiap individu adalah khas atau unik. Artinya, ia memiliki perbedaan dengan yang lainnya. Perbedaan itu bermacam-macam, mulai dari perbedaan fisik, pola berpikir dan cara merespon atau mempelajari hal baru. Dalam hal belajar, tiap-tiap individu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam menyerap materi pelajaran.Maka, guna menyesuaikan diri terhadap perbedaan masing-masing individu tersebut, diperlukan pemahaman terhadap individu itu sendiri.

1.2 Rumusan masalah

1.2.1 Apa latar belakang Pemahaman Individu?

            1.2.2 Apa pengertian Pemahaman Individu?

            1.2.3 Apa kegunaan Pemahaman Individu?

1.3 Tujuan Masalah

            1.3.1 Dapat mengetahui dan memahami latar belakang Pemahaman Individu

            1.3.2 Dapat mengetahui dan memahami pengertian Pemahaman Individu

            1.3.3 Dapat mengetahui dan memahami kegunaan Pemahaman Individu

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1  Latar belakang
Pemahaman terhadap asal mula tes psikologi bisa memberikan wawasan terhadap tes-tes dewasa ini. Menurut anastasia dalam buku sutoyo (2012:3) menyatakan tidak mudah menemukan akar-akar tes karena hilang ditelan waktu, namun dari penelusurannya ditemukan bahwa, dikalangan orang yunani kuno tes merupakan pendamping tetap proses pendidikan, tes digunakan untuk mengukur keterampilan fisik dan intelelektual. Pada abad pertengahan, tes juga digunakan sebagai ujian formal ketika universitas-universitas di Eropa hendak memberi gelar dan penghargaan. Selanjutnya, perkembangan tes dan psikologi disajikan secara singkat, berikut :
1)      Minat Awal Terhadap Pengobatan yang Lebih Manusiawi bagi Penderita Gangguan Jiwa
Abad ke 19 dipandang sebagai masa kebangkitan minat pada pengobatan yang lebih manusiawi terhadap penderita gangguan jiwa dan mereka yang terbelakang mental. Pentingnya kriteria untuk menetapkan standard penerimaan dan sistem klasifikasi yang obyektif untuk membedakan antara orang gila (insane) dan mereka yang terbelakan secara mental (mentally retarted). Pada masa ini dikenal nama Esquirol, dokter asal Perancis yang menemukan “keterbelakangan mental” dan tingkat-tingkatnya mulai dari normal sampai “idiot tingkat rendah”.  Dalam upaya mengembangkan sistem dan mengklasifikasikan tingkat dan jenis keterbelakangan yang berbeda-beda, Esquirol mencoba berbagai prosedur dan menyimpulkan bahwa “Penggunaan bahasa seseorang merupakan kriteria yang paling dapat diandalkan tentang tingkat intelektualnya”. Anastasi (2006:37) mencatat bahwa kriteria dewasa ini untuk keterbelakangan mental pada umumnya juga bersifat “linguistik”, disamping itu tes-tes intelegensi dewasa ini juga penuh muatan verbal.
Nama lain yang dipandang berjasa dalam perintisan tes psikologis pada abad ke-19 adalah Senguin (1866-1907), melakukan eksperimen selama beberapa tahun dengan metode yang disebutnya “metode pelatihan fisiologis”, dan pada 1837 ia mendirikan sekolah pertama bagi anak-anak dengan keterbelakamgan mental. Pada tahun 1848 dia berimigrasi ke AS. Banyak teknik pelatihan pancaindra dan peatihan otot yang diterapkan dalam lembaga-lembaga untuk orang dengan keterbelakangan mental. Dengan metode ini anak dengan keterbelakangan mental diberi latihan intensif dalam pembedaan inderawi dan dalam pengembangan kendali motorik. Salah satu contoh pengaplikasiannya adalah “Senguin Form Board”, dalan tes ini individu diminta untuk memasukkan balok-balok yang berbeda bentuknya kedalam lubang-lubang yang sesuai secepat mungkin.

2)      Kontribusi para psikolog eksperimen
Psikolog-psikolog eksperimen awal dari abad ke-19 dipandang Anastasi (2006 :38) belum peduli dengan pengukuran terhadap perbedaan-perbedaan individu. Tujuan mereka pada masa itu adalah perumusan deskripsi umum tentang perilaku manusia. Fokus perhatian mereka adalah keragaman, bukannya perbedaan-perbedaan perilaku. Fakta bahwa tiap individu bereaksi secara berbeda dari orang lain ketika diamati dalam kondisi serupa dianggap sebagai bentuk kesalahan atau penyimpangan. Adanya kesalahan atau variabilitas individu seperti itu membuat generalisasi bersifat “mendekati” bukannya eksak.
Cara lain yang ditempuh oleh para psikolog eksperimental abad ke-19 yang juga mempengaruhi prosedur psikotes adalah kendali yang ketat atas kondisi observasi, seperti pemakaian kata-kata yang digunakan dalam petunjuk tes  dan waktu pelaksanaan tes yang dipandang berpengaruh terhadap kecepat-tanggapan peserta. Disamping itu, kecerahan atau warna lingkungan sekeliling dipandang benar-benar mengubah tampilan stimulus visual.
3)      Kontribusi Francis Galton
Pakar biologi inggris yang juga dipandang berjasa dalam peluncuran tes adalah Francis Galton. Ia menyadari perlunya mengukur ciri-ciri orang yang memiliki hubungan keluarga dan tidak ada hubungan keluarga.  Contoh tes Galton antara lain:
·         Batang Galton untuk pembedaan panjang secara visual,
·         Peluit Galton untuk menentukan suara paling melengking yang dapat didengar,
·         dan serangkaian bobot yang bertingakat untuk mengukur pembedaan kinestik.
Galton (Anastasi, 2006 : 39) menulis “satu-satunya informasi yang sampai pada kita sehubungan dengan peristiwa-peristiwa eksternal tampaknya melewati celah indra kita, semakin perseptif indra kita semakin besar bidang yang menjadi terapan bagi penilaian dan integensi kita”. Individu dengan keterbelakangan mental ekstrem cenderung rusak kemampuannya dalam membedakan panas, dingin, dan rasa sakit. Sumbangan Galton yang lain adalah penggunaan metode statistik untuk menganalisis data tentang perbedaan individu.
4)      Rintisan Menuju Tes Mental
Psikolog Amerika yang dipandang penting dalam perintisan tes psikologi adalah James Mc Keen Cattel. Dalam artikel yang ditulisnya pada tanhun 1890, istilah “tes mental” dikenalkan untuk pertama kalinya dalam dunia psikologi. Artikel ini dipaparkan rangkaian tes yang diselenggarakan setiap tahun bagi para mahasiswa dalam upaya menentukan tingkat intelektual. Tes yang diselenggarakan secara individu meliputi ukuran-ukuran kekuatan otot, kecepatan gerakan, sensitivitasterhdap rasa sakit, ketjaman penglihatan dan pendengaran, pembedaan berat, waktu reaksi, ingatan dan sebagianya. Dalam pemilihan tes-
tesnya, Cattel memiliki pandangan yang sama dengan Galton, bahawa ukuran fungsi-fungsi intelektual bisa diperoleh melalui tes-tes perbedaan indrawi dan waktu reaksi.

5)      Rintisan Menuju Tes Kecerdasan
Psikolog Perancis yang namanya sangat terkenal dalam perintisan tes kecerdasan adalah Alferd Binet. Caplin, J.P (2001 : 59) mencatat bahawa Binet adalah pengembang tes intelegensi pertama yang dibakukan (1857-1911). Anastasi (2006 : 41) menunjukan bahwa Binet dan rekan kerjanya mencurahkan waktu bertahun-tahun untuk melakukan penelitian aktif dan sederhana tentang cara-cara pengukuran kecerdasan atau intelegensi.
Pada tahun 1904 Menteri pengajaran Umum menugaskan Binet ke komisi yang bertugas mempersiapkan prosedur-prosedur untuk pendidikan anak terbelakang. Dalam rangka kerja inilah Binet bekerja sama dengan Simon, yang kemudian menghasilkan “Skala Binet-Simon” yang pertama.
Skala ini dikenal dengan skala 1905, yang terdiri dari 30 masalah atau tes yang diatur dalam urutan tingkat kesulitan yang semakin tinggi. Tingkat kesulitan ditentukan secara empiris dengan menyelenggarakan tes pada 50 anak normal berusia 3-11 tahun, dan pada sejumlah anak terbelakang mental dan orang dewasa. Tes-tes ini dirancang mencakup rentang fungsi yang luas, dengan penekanan khusus pada penilaian (judgement), pemahaman, dan penalaran yang dipandang sebagai komponen hakiki intelegensi. Skala 1905 ini disajikan sebagai instrumen permulaan dan tentatif, dan tidak satupun metode obyektif yang akurat untuk menghitung skor total dirumuskan.
Pada tahun 1908 dikembangkan skala kedua, jumlah tes ditingkatkan, sejumlah tes yang tidak memuaskan dari skala terdahulu dihapus, dan semua tes dikelompokan ke dalam tingkatan umur atas dasar kinerja anak dari 300 anak normal berusia 3-13 tahun. Skor anak pada seluruh tes bisa dirumuskan sebagai tingkatan mental yang berhubungan dengan usia anak-anak normal yang kinerjanya ia samakan. Dalam berbagai terjemahan dan adaptasi skala Binet, istilah “usia mental (mental age)” pada umumnya digunakan untuk menggantikan “tingkatan mental (mental level)”.
Revisi ketiga skala Binet-Simon muncul pada 1991, tahun meninggalnya Binet pada usia yang masih muda. Dalam skala ini tidak dilakukan perubahan fundamental, tetapi hanya perubahan kecil berupa relokasi atas tes-tes khusus.
6)      Tes Kelompok
Tes yang dikembangkan Binet dengan segala revisinya adalah skala individual, artinya tes-tes itu dilaksanakan untuk perorangan. Banyak tes dalam skala ini membutuhkan tanggapan lisan dari peserta tes atau membutuhkan manipulasi materi, bahkan bebrapa tes menuntut pengukuran waktu tanggapan individu. Di samping itu tes Binet ini membutuhkan penguji tes (tester) yang amat terlatih. Tes seperti ini pada dasarnya adalah instrumen-instrumen klinis yang sesuai untuk telaah mendalam terhadap kasus-kasus individu.
Tes kelompok seperti halnya skala Binet, pada mulanya dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan praktis, yaitu ketika Amerika serikat memasuki Perang Dunia I pada tahun 1917.
Tes-tes yang akhirnya dikembangkan oleh psikolog angkatan darat ini dikenal dengan nama “Army Alpha dan Army Beta”. Tes Army Alpha dirancang untuk tes rutin umum, sedang tes Army Beta adalah skala non-bahasa yang diterapkan untuk orang-orang buta huruf dan orang asing yang tidak mampu berbahasa inggris. Kedua tes ini menyebar penggunaannya pada masyarakat sipil, yang mengalami banyak revisi dan menjadi model bagi sebagian besar tes intelegensi kelompok.
7)      Tes Bakat (aptitude testing)
Anastasi (2006 : 44) mencatat, bahwa meskipun tes-tes intelegensi pada awalnya dirancang untuk mengukur berbagai fungsi dalam rangka memperkirakan tingkat intelektual umum individu, akhirnya diakui bahwa tes-tes semacam itu terbatas cakupannya. Pengakuan itu didasarkan atas kenyataan bahwa kebanyakan tes intelegensi pada dasarnya merupakan ukuran kemampuan verbaldan dalam arti sempit, kemampuan menangani hubungan-hubungan numerik, hubungan abstrak, dan hubungan simbolis. Akhirnya para psikolog menyadari bahwa istilah “tes intelegensi” adalah nama yang salah, karena hanya aspek tertentu dari intelegensi yang diukur oleh tes-tes tersebut.
Meskipun tes-tes intelegensi mencakup kemampuan-kemampuan yang amat penting dalam budaya yang menjadi konteks rancangan tes, tetapi disadari bahwa peruntukan yang lebih tepat yang didapat dari penggunaan tes-tes ini dipandang lebih penting. Akibatnya, tes-tes intelegensi selama tahun 1920-an menjadi lebih dikenal dengan sebutan “tes bakat sekolah”. Pergeseran penggunaan istilah ini terjadi ketika orang mengalami kenyataan bahwa banyak tes yang disebut tes intelegensi sebenarnya mengukur kombinasi kemampuan yang dituntut dan didorong oleh penelitian. Bahkan sebelum Perang Dunia I, para psikolog mengakui perlunya tes bakat khusus untuk melengkapai tes intelegensi umum. Tes-tes bakat khusus ini dikembangkan secara khusus untuk kepentingan konseling pekerjaan, seleksi, dan klasifikasi personel industri dan militer. Sejumlah tes multibakat juga dikembangkan untuk sipil dan diterapkan secara luas dalam konseling pendidikan dan pekerjaan serta dalam seleksi dan klasifikasi personel. Diantara tes-tes yang digunakan paling luas adalah tes-tes bakat mekanikal, klerikal, musikal, dan artistik.
8)      Tes Prestasi (Achievement Test)
Tes standar pertama untuk mengukur hasil belajar dipelopori oleh E.L. Thorndike, dengan mendasarkan prinsip-prinsip yang dikembangkan dari laboratorium psikologi. Kemudian muncul pula tes prestasi yang diprakarsai oleh publikasi edisi pertama Stanford Achievement Test pada tahun 1923. Para penyusunnya adalah para pelopor awal perkembangan tes: Trumman L. Kelly, Gilles M. Ruch, dan Lewis M. Terman.
Di sisi lain, ditemukan pula bahwa tidak adanya kesepakatan di kalangan guru-guru dalam menilai tes esai, tes esai menghabiskan waktu lebih banyak bagi penguji dan yang diuji, dan hasil yang kurang bisa diandalkan bila dibanding dengan tes obyektif “jenis baru”. Ketika soal-soal obyektif “jenis baru” ini mulai banyak digunakan dalam tes-tes prestasi standar, ada penekanan makin kuat pada perancangan soal-soal untuk menguji pemahaman dan penerapan pengetahuan, serta sasaran-sasaran pendidikan yang lebuh luas lagi, hal ini membuat isi tes prestasi lebih menyerupai tes intelegensi. Perbedaannya hanya terletak pada kekhususan isi dan sejauh mana tes itu mengandalkan instruksi yang telah ditetapkan sebelumnya.
9)      Penilaian Kepribadian
Tes-tes psikologis yang dirancang untuk mengukur aspek-aspek afektif atau nonintelektual lazim dikenal dengan sebutan “tes kepribadian”, meskipun banyak psikolog yang lebih menyukai istilah “kepribadian” dalam arti luas yaitu untuk menyebut individu seutuhnya. Dengan demikian sifat-sifat “intelektual” dan “nono-intelektual” termasuk di dalam istilah kepribadian. Akan tetapi, pada penggunaan istilah dalam tes psikologis, penamaan “tes kepribadian” paling sering mengacu pada ukuran karakteristik seperti keadaan emosi hubungan antarpribadi, motivasi, minat, dan sikap.
Anastasi (2006 : 49) mencatat perintis awal tes kepribadian diilustrasikan oleh penggunaan tes Kraeplin atas tes asosiasi bebas terhadap pasien-pasien psikiatris. Dalam tes ini, peserta ujian diberi kata-kata stimulus yang dipilih secara khusus, dan mereka diminta memberikan tanggapan atas setiap kata itu dengan kata pertama yang muncul dalam benak mereka. Kraeplin (1892) juga menggunakan teknik ini untuk mempelajari dampak psikologis dari keletihan, lapar, dan obat bius.prototipe kuesioner kepribadian atau daftar pengenalan diri (self-report inventory) adalah lembar data pribadi yang disusun oleh Woodwarth selama Perang Dunia I. Tes ini dirancang sebagai instrumen penyaring kasar untuk mengidentifikasi orang-orang yang terganggu secara serius, yang akan dikeluarkan dari dinas militer.
Pendekatan lain dalam pengukuran kepribadian adalah melalui aplikasi tes kinerja atau tes situasi. Dalam tes ini peserta diberi tugas untuk melakukan suatu pekerjaan yang maksudnya sering disembunyikan. Kebanyakan tes ini meniru situasi kehidupan sehari-hari dan dimanfaatkan untuk mengungkap kejujuran, kemampuan bekerja sama, dan ketekunan.
Bentuk lain dari tes kepribadian adalah teknik-teknik proyektif, dalam bentuk ini klien diberi tugas yang relatif tidak terstruktur, yang memberikan peluang gerak yang luas bagi teste untuk menyelesaikannya. Asumsi yang mendasari metode ini adalah individu akan memproyeksikan modus tanggapan yang khas dalam menyelesaikan tugasnya.
Anastasi (2006 : 51) menunjukkan dua kecenderungan penting yang muncul dari riset-riset kepribadian dewasa ini. Pertama, meningkatnya bukti timbal balik antara ciri bawaan afektif (kepribadian) dan kognitif (kemampuan), baik dalam kinerja tugas maupun perkembangan perilaku. Kedua, analisis teoretis atas hakekat dan komposisi kepribadian mendukung reintregasi sifat-sifat kognitif dan afektif kedalam model komprehensif tentang aktivitas manusia yang mencakup semua bentuk perilaku.
2.2 Pengertian
Pemahaman individu atau human assessment didefinisikan oleh Aiken (1997 : 454) bahwa pemahaman individu adalah suatu cara untuk memahami, menilai atau menaksir karakteristik, potensi, dan atau masalah-masalah (gangguan) yang ada pada individu atau sekelompok individu. Cara-cara yang digunakan itu mencakup observasi, interview, skala psikologis, daftar cek, inventory, tes proyeksi, dan beberapa macam tes.
Pemahaman atau penilaian itu dimaksudkan untuk kepentingan pemberian bantuan bagi pengembangan potensi yang ada padanya (developmental) dan atau penyelesaian masalah-masalah yang dihadapinya (klinis).
Dalam melakukan asesmen itu, lazim digunakan berbagai instrumen yang bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu dengan cara tes dan non-tes. Kedua jenis alat atau instrumen tersebut menurut Anastasi (2006 : 3) biasa berfungsi saling melengkapi, artinya kepada individu setelah dilakukan wawancara atau observasi kemudian dilanjutkan dengan pemberian pemberian tes, atau sebaliknya setelah dilakukan tes kemudian dilakukan wawancara atau observasi.
Aiken (1997 : 1) dalam bukunya menunjukkan bahwa manusia dalam kenyataannya berbeda-beda dalam kemampuan berpikirnya, karakter kepribadiannya, dan tingkah lakunya. Semuanya itu bisa ditaksir atau diukur dengan bermacam-macam cara.
Ada beberapa macam tes, Aiken (1997 : 9-10) mengelompokkan tes dari beberapa sisi berikut :
1.      Dilihat dari penyusunannya, tes bisa dikelompokkan menjadi dua yaitu
(a)    Tes standar (standardized test) yaitu tes yang disusun oleh para ahli dalam bidang tes dan diperoleh dari hasil uji coba dengan sampel yang representatif dari populasi dimana tes itu digunakan, ia memiliki instruksi dan skoring atau norma penilaian yang pasti.
(b)   Tes non-standar (non-standardized classroom) yaitu tes yang disusun oleh guru di sekolah.
2.      Dilihat dari jumlah subjek yang dikenai tes, tes bisa dikelompokkan menjadi
(a)    Tes Individual atau perorangan (Individual test) seperti “Tes Binet-Simon Intelligence Scale” yang dikenakan pada satu orang testee pada saat tertentu.
(b)   Tes Kelompok (a group test) seperti “Army Examinaton Alpha” yang bisa dilaksanakan secara simultan untuk beberapa orang yang diuji. Pengelompokan pada individual dan kelompok tersebut berkenaan dengan efisiensi pelaksanaan.
3.      Dilihat dari waktu yang disediakan, tes bisa dikelompokkan menjadi
(a)    Tes Kecepatan (Speed-test) yaitu tes yang terdiri dari sejumlah banyak item yang mudah, tetapi waktunya dibatasi hingga hampir-hampir tidak ada orang yang bisa menyelesaikan semua soal.
(b)   Tes Kemampuan (Power-test), tes ini berisi beberapa item yang sangat sulit dan memerlukan pengetahuan yang sangat luas, sementara waktu yang disediakan memang tidak sesempit speed test.
4.      Dilihat dari cara koreksinya, tes dibedakan menjadi
(a)    Tes Obyektif yaitu tes yang kunci jawabannya atau standar skornya telah ditetapkan sehingga bisa dikoreksi siapapun dengan hasil yang sama.
(b)   Tes non objective atau tes subjective atau tes essay yaitu tes yang standar skornya benar-benar subyektif, lain orang yang mengoreksi lain pula hasilnya. Beberapa tes tipe kepribadian menggunakan bentuk tes subyektif.
5.      Dilihat dari isinya (content) atau tugas yang harus dikerjakan oleh testee dibedakan menjadi
(a)    Tes Verbal, yaitu tes yang berupa kata-kata diagram atau teka-teki (puzzle).
(b)   Tes Perbuatan (Performance test) yaitu tes yang mengharuskan testee memainkan atau menggerakkan obyek, seperti pasak dalam lubang, menyusun benda-benda.
6.      Dilihat dari aspek atau proses mental yang diungkap, tes bisa dikelompokkan menjadi
(a)    Tes Kognitif (cognitive test) yaitu tes yang berupaya mengukur proses dan hasil aktivitas mental, dan juga tes prestasi dan kecerdasan. Tes prestasi (achievement test) adalah tes yang mengukur pengetahuan akademik dan pekerjaan, fokusnya adalah pemeriksaan terhadap perubahan perilaku seseorang setelah ia belajar atau menyelesaikan suatu program. Tes kecerdasan (Aptitude test) memusatkan pada perilaku yang akan datang, yaitu bagaimana kemampuan belajar seseorang dan kesesuaiannya dengan program yang hendak dipilih. Tes bakat mekanik (test of mecanical aptitude) dan tes bakat sekretaris (test of  clerical apttitude)dirancang untuk meramalkan kemampuan seseorang untuk mengikuti pendidikan dan tugas-tugas dalam bidang mekanik atau sekretaris.
(b)   Tes afektif (affective test) yaitu tes yang dirancang untuk mengukur minat, sikap, nilai-nilai, motif, temperamen, dan sifat, serta hal-hal yang tidak termauk dalam kategori selain kecerdasan (non cognitive charachteristic personality).Beberapa teknik didalamnya adalah observasi, pelaporan diri, (inventory), dan tes gambar proyektif.
7.      Ada pula pengelompokan secara umum, yaitu:
(a)    Tes prestasi (achievement test),
(b)   Penilaian tingkah laku (behavior assessment),
(c)    Tes perkembangan,
(d)   Pendidikan,
(e)    Bahasa inggris,Bahasa asing (foreign language),
(f)    Tes intelegensi dan kemampuan bersekolah,
(g)   Matematika,
(h)   Berbagai kemampuan (miscellaneous),
(i)     Alat (tes) untuk berbagai kemampuan (multi-aptitude batteries),
(j)     Berkaitan dengan syaraf (neuropsychlogical),
(k)   Kepribadian (personality),
(l)     Membaca,
(m) Sensory-motor social studies,
(n)   Berbicara dan mendengarkan,
(o)   Pekerjaan (vocations)
A.    KEGUNAAN
Aiken (1977 : 11) menunjukkan tes psikologi dan macam-macam alat ukur (assessment instruments) digunakan dalam bidang yang amat luas, seperti pendidikan, industri dan perdagangan, klinik psikologi, pelayanan konseling, pemerintahan, militer, dan penelitian. Anastasi (2006 : 3) menunjukkan bahwa secara tradisional, pengukuran psikologis berfungsi untuk mengukur perbedaan-perbedaan antara individu atau perbedaan reaksi individu yang sama terhadap berbagai situasi yang berbeda. Pendorong utama munculnya pengukuran psikologi adalah kebutuhan akan penilaian dari dunia pendidikan.
            Tujuan utama pengukuran psikologis baik dengan menggunakan tes maupun non-tes menuru Aiken (1997 : 11) adalah untuk menilai tingkah laku, kecakapan mental, dan karakteristik kepribadian seseorang dalam rangka membantu mereka dalam membuat keputusan, peramalan, dan keputusan tentang seseorang. Bisa dipahami kegunaan tes psikologi dan berbagai macam alat ukur adalah :
1.      Untuk menyaring pelamar pekerjaan, pendidikan, dan atau program pelatihan;
2.      Untuk pengklasifikasian dan penempatan seseorang dalam pendidikan dan pekerjaan;
3.      Untuk pemberian bantuan dan pengarahan bagi individu dalam pemilihan pendidikan, pekerjaan, dan konseling perorangan;
4.      Untuk memilih karyawan mana yang perlu dihentikan (di-PHK), dipertahankan, atau di promosikan melalui program pendidikan atau pelatihan atau tugas khusus;
5.      Untuk meramalkan dan menentukan perlakuan (treatmen) psikis, fisik, klinis, dan rumah sakit;
6.      Untuk mengevaluasi perubahan kognitif, intrapersonal, dan interpersonal sebagai hasil dari pendidikan, terapi psikologis dan berbagai program intervensi tingkahlaku;
7.      Untuk mendukung penelitian tentang perubahan tingkah laku dan mengevaluasi efektivitas suatu program atau tekhnik yang baru.
Anastasi (2006 : 3) menunjukkan beberapa penggunaan pengukuran psikologis dalam bidang pendidikan adalah
(1)   Mengklasifikasikan anak-anak berdasarkan kemampuan mereka menyerap berbagai jenis instruksi dikelas,
(2)   Identifikasi mana pembelajar yang cepat dan mana yang lamban,
(3)   Konseling pendidikan dan pekerjaan pada tingkat sekolah menengah dan universitas,
(4)   Menyeleksi orang-orang yang melamar masuk sekolah profesional.
Aiken (1997 : 2) menunjukkan bahwa asesmen (termasuk didalamnya observasi, interview penelitian perkembangan, survei dan korelasi) juga banyak digunakan bahkan menjadi bagian penting dalam penelitian yang berkaitan dengan perilaku manusia. Penggunan tes sering digunakan sebagai pendamping wawancara. Namun demikian, tes merupakan bagian penting dari keseluruhan program kepegawaian. Khususnya bagi mahasiswa jurusan Bimbingan dan Konseling di Indonesia, kemampuan melakukan asesmen adalah salah satu unsur dari kompetensi utuh konselor Indonesia.

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemahaman Individu adalah suatu cara untuk memahami,menilai,menafsirkan karakteristik,potensi dan masalah masalah yang dimiliki oleh individu .Pemahaman tersebut dapat berfungsi untuk pengembangan  potensi individu dan juga bisa sebagai langkah untuk menyelesaikan masalah masalah yang dialami individu.
3.2 Saran
                        Setiap individu di dunia ini memiliki karakteristik dan sifat yang khas yang berbeda dengan individu lain ,maka dari itu untuk menghadapi individu(klien),konselor harus mengetahui terlebih dahulu latar belakang,pengertian dan kegunaan pemahaman individu


DAFTAR PUSTAKA

Sutoyo, Anwar. 2012. Pemahaman Individu. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.


 Jika ingin menDownload file KLIK DISINI
SEMOGA BERMANFAAT :-)

0 komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan Sopan :-), Ucapanmu mencerminkan Kualitas Dirimu :-
)